BUMI KITA SEMAKIN RENTA

Beberapa tahun yang lalu kita menyaksikan kesengsaraan akibat banjir di beberapa daerah di Indonesia. Di Jawa Timur banjir melanda Ngawi, Bojonegoro, Nganjuk, Tuban, Gresik, Pacitan, Jember, Probolinggo, dan kota-kota lain. Di Jawa Tengah longsor akibat hujan terjadi di wilayah Karanganyar yang merenggut sejumlah jiwa. Kota-kota seperti Semarang, Demak, Kudus, Rembang, dan sebagainya pun dilahap banjir. Musibah banjir juga terjadi di Sulawesi, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan NTB. Belum lagi hilang dari ingatan kita musibah gempa bumi di Jogja dan Tsunami di Bumi Serambi Mekah. Keluarnya lumpur panas di wilayah Porong, Sidoarjo menambah derita bangsa ini. Akankah musibah-musibah ini akan terus terjadi? Bukankah telah banyak jiwa melayang? Apa sebetulnya yang tengah terjadi? Mengapa Tuhan seolah tiada henti menguji kita?

Rasanya banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak kita seiring tangisan orang-orang yang menjadi tumbal atas musibah itu. Semakin sering kita bertanya, serasa semakin tidak ada jawabannya.

Tapi coba kita amati perilaku bangsa ini. Di televisi kita lihat begitu banyak tayangan tentang perilaku kejahatan bangsa ini: susu bayi dicampur tepung, pasta gigi dipalsu, obat dipalsu, sabun dipalsu, BBM dipalsu, beras dipalsu, telur dipalsu, dan..............entah apalagi. Sekarang sulit mencari barang yang tidak dipalsu. Kalaupun ada maka harganya sudah tidak lagi bisa terjangkau rakyat kecil.

Sementara di atas sana para pejabat bergelimangan harta, meski tentu juga harta palsu karena didapat dari kata-kata dan bibir yang palsu. Betapa enaknya jaksa yang mendapat kiriman uang 6 milyar, betapa mudahnya aparat penegak hukum memalsu fakta: Dari salah menjadi benar, dari benar menjadi salah, tentu dengan imbalan yang besar. Orang jujur masuk penjara sementara penjarah harta bangsa dibiarkan piknik ke luar negeri. Alangkah bejatnya moral bangsa ini.

Lalu, mana hutan kita yang terkenal itu? Sudah ngga ada kawan................ sudah habis.... jan habis...bis....bis...bis. Coba amati kalau kita sempat telusuri jalan darat dari Balikpapan ke Bontang, ke Sangatta Kutai Timur, mana ada hutan? Yang ada hamparan ilalang yang sesekali diantarai pohon pisang. Kayunya ke mana? Entahlah .................... Yang jelas sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sedikit secuil gerombolan pepohonan maka yang ada hanya di sekitar bukit Suharto. Konon orang-orang segan menebang kayu di situ karena takut kualat pak Harto yang menurut lagenda pernah kencing di pinggir jalan di bukit Suharto (jelas cerita tentang pak Harto yang kencing di pinggir jalan ini hanya dongeng).

Lalu, mana pula hamparan padi di sawah yang biasanya menguning ranum? Sudah jarang.... sangat jarang. Hamparan sawah sudah menjadi kebun beton, sudah menjadi permukiman. Open space sudah hampir-hampir sulit di cari, lebih-lebih di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan kota-kota lainnya. Jadi, mana bisa air bersembunyi agar tidak menyebabkan banjir kalau tempat persembunyiannya telah dirampas oleh manusia.

Hutan marah, air marah, bumi marah, pohon marah, batu marah, lumpur marah, pasir marah, laut marah, sungai marah, gunung marah, rakyat kecil marah, buruh pabrik marah......... Maka, habislah kita. Kita tunggu saja kapan Tuhan akan marah....karena itu berarti akhir dari segalanya..................................................



Jadi, kalau kemudian bangsa ini sengsara karena musibah yang bertubi-tubi, jangan salahkan alam, jangan marah kepada Tuhan. Alam kita telah renta akibat ulah kita sendiri. Maka bersiaplah untuk menerima adzab-Nya yang pedih............... 'audzubilahi min dzaliq....